Sungguh sunyi! Saat membaca kembali puisi-puisi ‘pilu’ yang pernah ku buat empat tahun lalu. Tanpa disadari, selang dua tahun kemudian… lahirlah bayi-bayi puisi ‘obat’ yang jika membacanya serasa memulihkan luka-luka yang sempat tertoreh dalam naskah lama. Tak jarang, butuh waktu yang cukup panjang untuk mengobati segala jenis ‘sakit’. Seperti tentang puisi tadi, kurang lebih enamratus enampuluh hari untuk mengubah keadaan, memulihkan luka. Namun, terasa amat singkat jika kita membaca kembali keduanya secara bersamaan saat ini. Sesunyi itu kah kita dahulu? Sebahagia itu kah kita kini? Atau sebaliknya. Apa yang membuatnya berubah?
Proses ini sering membuat kita ‘linglung’ bahkan lupa. Ya, mungkin kah ini bagian dari proses hidup? Kita tak sama dengan kita yang tadi. Terkadang kita justru menjadi orang lain, benda lain atau pun mahluk lain tanpa kita benar-benar menyadarinya. Kita hanya terlalu sibuk mengurusi banyak kekhawatiran tanpa mempersiapkan kelahiran diri kita yang baru, yang (seharusnya) lebih baik dan lebih berkualitas di masa akan datang, beberapa detik kedepan.
“Saya tak tahu, berapa waktu yang tersisa untuk saya. Satu jam, satu hari, satu tahun, sepuluh, lima puluh tahun lagi? Bisakah waktu yang semakin sedikit itu saya manfaatkan untuk memberi arti keberadaan saya sebagai hamba Allah di muka bumi ini? Bisakah cinta, kebajikan, maaf dan syukur selalu tumbuh dari dalam diri, saat saya menghirup udara dari Yang Maha?”
― Helvy Tiana Rosa, Risalah Cinta
Siapa yang tidak tahu… perjalanan hidup demikian rumit, terutama bagi kita yang awam. Membuat kita serasa bangun dari mimpi, dari kenangan, lalu terkejut saat ‘terjaga’ menyaksikan kenyataan. Bagai bunga tidur yang memiliki ruh, mencetak sejarah yang begitu hidup dan tumbuh di kepala, lalu kita tercengang dengan hasil akhirnya! Kita dapat melihatnya dengan jelas, betapa sekarang adalah kenyataan, yang sesegera mungkin akan berpindah menjadi calon kenangan! Kita memang pernah ada di sini, tapi esok dan seterusnya kita akan ada di mana? Disaat yang mana dan seperti apa? Padahal kita bernafas dengan hidung yang sama, melihat dengan bola mata yg serupa. Atau kah mungkin hati dan pikiran kita yang berbeda? Yang akan menentukan kualitas hidup kita selanjutnya. Detik demi detik begitu lincah menggilas, mengubah segalanya tanpa ampun, tanpa terkecuali!
“Agaknya sang waktulah yang paling perkasa dalam kehidupan. Ia tak tersaing,Tak pernah mengeluh. Tak pernah juga merasa takut. Sementara manusia -saya dan anda- berlanjut usia, berlanjut pula tulahnya.”
― Remy Sylado, Kembang Jepun
Mungkin kah waktu adalah ‘tuan’ yang dipilih Tuhan? Ia bebas menjadikan kita seperti yang diinginkannya. Apakah kita harus melakukan sesuatu? Bergegas! Menguasai sang waktu untuk mengubah segalanya seperti yang kita mau… mengikuti detaknya, pun ikut menentukan irama dan hentakan dalam tiap deru lajunya. Mengajaknya berdamai… namun sungguh, itu tak mudah! Ah… terkadang kita merasa sudah amat sadar merencanakan kelahiran kita esok, menyiapkannya… akan menjadi seperti apa kita esok hari. Sayangnya kita sering lengah. Kalah. Sedangkan waktu semakin gagah, menjelma menjadi si penyihir hebat! Lagi-lagi, setiap detik akan segera menyulap kita dengan ‘mantranya’, saat kita sadar maupun alpa. Oh, di sana kah letak gelisah itu!? Jika iya, maka kita harus selalu terjaga… agar kelak, saat hari ini menjadi lampau, kau tak akan pernah menyesalinya… bahkan mensyukuri kelahiranmu di masa itu dan masa-masa mendatang lainnya. Jadilah engkau seperti yang kau mau. Jangan pernah menjadi apa pun yang bahkan kau pun tak mengenalinya! Tidak kah kita hampir terlambat? Sebelum sampai di ujung waktu, saat menit terlanjur menjadi mayat. Jangan pernah terlambat… Jadilah aku seperti yang ku mau! Jadilah!
“Janganlah bersedih, waktu mengambil seorang sahabat, dan waktu akan menggantikannya dengan sahabat yang lain. Berdamailah dengan waktu, karena waktu akan menumbuhkan dan menyembuhkan.”
― Andrea Hirata, Ayah
Bandung / Khairunnisa Mawar Biduri
..Comments..